Sebuah Genuk untuk Mengendapkan Informasi yang Keruh dan ber-Najis
Paciran ❤ Lamongan
  • Romansa
  • Desain
  • Internet
  • Fiksi
  • Kuliner
  • Tutorial
  • Menulis
  • Politik
12 June 2019 / ROMANSA, PSIKOLOGI

Sebuah Genuk untuk Mengendapkan Informasi yang Keruh dan ber-Najis

Aku punya sebuah kenangan tentang sesuatu pada masa kecilku di kampung halaman Bapak, yang kini, sudah almarhum, bertahun-tahun lalu. Sebuah genuk besar tempat untuk menampung air yang berada di belakang rumah. Yang kalau mau, genuk itu bisa kupakai sebagai pengganti kolam renang, masuk dan kungkum di dalamnya di siang yang panas ketika matahari sedang semangat-semangatnya membakar dirinya sendiri sepulang dari Madrasah. Yang ketika kulakukan akan semakin menegaskan kebandelanku dengan kalimat: “O.. anake-wong jawatimur kiye nakale kok yo ra lumrah kae.” dan sederet sumpah serapah, yang uniknya tidak berpengaruh. Lha piye, misuhi kok koyo nyinden.

Soal istilah “anak-e wong jawatimur” itu, disebabkan ada cap “nakal” sebagai akibat generalisasi stereotype yang melekat pada diriku yang lahir di Jawa Timur, lebih tepatnya pilihan bahasa jawa timuran yang kupakai. Setidaknya di masa kecilku dulu, mereka menganggap bahwa orang Jawa Timur itu kasar. Dan lucunya (dulu) mereka (orang-orang di kampung halaman bapak-ku) tidak bisa membedakan Paciran dengan Pacitan. Ahaa!

Kembali ke kisah si Genuk itu, yang besarnya tiga atau empat kali lipat besar tubuhku, tentu bukan tubuhku yang seumuran sekarang, baru akan berguna jika musim kemarau datang. Ketika sungai-sungai irigasi mengeruh coklat muda, menguning bercampur tanah sawah dan sumur-sumur mulai dangkal. Seperti yang sudah jamak, musim kering, membuat sumur-sumur semakin pelit, hanya menyisakan beberapa yang masih kapasitas air melimpah. Tak terkecuali di desa Bapak.

Salah satu anggota keluarga yang masih tinggal seatap dengan Simbah Wedok, akan secara rela me-ngangsu air kali yang coklat muda menguning itu ke dalam genuk hingga penuh. Buat apa ngangsu air kali irigasi yang tak langsung bisa dipakai buat masak apalagi diminum? Untuk diendapkan. Di tunggu hingga debu, tanah, dan segala kotoran (ya, termasuk tahi, jamban umum berdingding gedek di kali irigasi itu hal yang lumrah) yang bercampur dengan “calon air minum” dan bakal memasak itu.

Prosesnya pengendapan ini bisa sampai seminggu, atau paling cepat 3 hari untuk mendapat air sebening akua. Dengan catatan, tak ada gangguan anak kecil yang secara iseng ingin menikmati kolam renang di tengah panas terik matahari, sepulang sekolah.

Seperti air yang tertampung di genuk legenda itu, demikan pula halnya informasi. Seberapa banyak informasi yang kita dapatkan di era yang sudah pecah selaput-selaput pembatasnya ini? Banyak, dan tidak semua informasi itu layak konsumsi. Kalau boleh dibilang informasi itu begitu keruh, bercampur dengan kotoran-kotoran (ya, tahi) dari otak penulisnya, dari editor berita (yang dibayar oleh media yang menaunginya) yang bisa saja punya tendensi untuk sedikit merombak arah narasi agar sesuai dengan kriteria berita layak menurut media tempat ia bekerja. Tidak semua, tapi hanya sebagian kecil yang benar-benar bisa menyajikan informasi sebening akua, dan lebih sedikit lagi dari yang bening itu, tak bercampur zat-zat berbahaya.

Lalu, akankah kita menelan langsung semua informasi itu? Air yang keruh, kotor (ya, bercampur tahi), dan perlu dicurigai ada mineral berbahaya yang tak layak masuk kedalam tubuh. Kita perlu mengendapkannya, mengujinya, dan mengolahnya, kemudian baru memanfaatkannya untuk pencernaan otak dan batin kita sendiri. Untuk kesehatan otak dan batin kita sendiri.

Karena saringan, belum cukup untuk membeningkan air yang kotor. Belum lagi jika saringan yang kita pakai bocor, terlau besar lubangnya. Kita perlu mengndapkannya, yakin bahwa tak ada zat berbahya dengan uji laboratorium (bagi yang paranoid saja), kemudian membebaskannya dari kuman dengan membunuh kuman-kuman yang sempat berkembamg biak selama masa pengendapan.

Jadi? Jangan terlalu reaktif dengan informasi yang viral saat ini dan perdebatan yang mengikutinya. Daripada susah payah menyaring ratusan informasi yang masuk sekaligus, biarkan informasi-infomasi itu mengendap dan pada akhirnya informasi itu bisa kita lihat secara jernih, aman untuk dikonsumsi.

mukidi

Jon Mukidi

GaPenting, buronan para penagih hutang, reskrim, camer, hingga homo keparat yg keponya kebangetan.

Read More
— Paciran ❤ Lamongan —

Romansa

  • Rahwana, Antagonis Yang Lebih Tulus Mencintai Shinta
  • Renungan Ramadhan: Kita Yang Munafik Ini...
  • Antara Mitos dan Potensi Ekowisata Paciran
See all 16 posts →

Status Whatsapp Penjual Buku Laknat nan Keparat

Han, Sejak beberapa bulan terakhir ini, saya mulai aktif jualan buku kembali di akun media sosial, lebih aktif unggah foto dagangan di status WhatsApp. Kolom status di WhatsApp bisa sampai puluhan hingga tak

Kaji Sukadi Kaji Sukadi

5 Poin Penting Dari Statistik Final Liga Champions '19

Kemenangan heroik Liverpool pada Final Liga Champions mendominasi tajuk berita di hampir semua media daring hingga luring. Beberap statistik luar-biasa tercipta dari helatan pertandingan final hajatan bola antar klub paling bergengsi di dunia tersebut.

Jon Mukidi Jon Mukidi
Paciran ❤ Lamongan icon Paciran ❤ Lamongan
—
Sebuah Genuk untuk Mengendapkan Informasi yang Keruh dan ber-Najis
Share this
Paciran ❤ Lamongan © 2019
Proudly published with:
Jekyll & GitHub Pages using Jasper2
AboutKontak Facebook Twitter